Alaska Airlines pada Selasa (7/6/20166) menjalani dua penerbangan dari Seattle menggunakan campuran bahan bakar dengan biofuel 20% berasal dari jagung fermentasi. Maskapai ini mencoba biofuel yang berbeda demi mendorong penggunaan sumber bahan bakar berkelanjutan di industri penerbangan komersial.
Alaska Airlines Penerbangan 388 dari Seattle ke San Francisco berangkat pada 13:00 Selasa dengan mesin yang menggunakan campuran bahan bakar fosil dan campuran 20%biofuel yang terbuat dari jagung fermentasi.
Dalam upaya mendorong pengembangan sumber bahan bakar berkelanjutan, maskapai ini telah menjalani penerbangan demonstrasi dengan berbagai biofuel yang telah direkayasa untuk menjadi setara dengan bahan bakar biasa yang dihasilkan dari minyak bumi.
Pada November 2011, maskapai ini menjalankan 75 penerbangan komersial berpenunmpang antara Seattle-Washington, DC, dan Seattle-Portland menggunakan biofuel yang diolah dari bekas minyak goreng.
Biofuel dalam penerbangan Alaska Airlines pada Selasa, dikembangkan oleh Gevo, perusahaan yang berbasis di Englewood, Colorado. Gevo menghasilkan isobutanol, sejenis alkohol – di pabrik fermentasi di Luverne, Minn, dengan cara yang mirip dengan produksi etanol. Perusahaan ini mengubah alkohol menjadi bahan bakar pesawat yang terbarukan di biorefinery di Silsbee, Texas, AS.
Gevo mengatakan bahan bakar baru itu bisa mengatasi kekhawatiran mereka sebab bahannya bisa diturunkan dari lainnya, menggunakan input yang lebih murah seperti gula atau limbah kayu.
“Produk bahan bakar jet Gevo merupakan langkah maju yang penting, dalam hal ini memiliki potensi untuk membuat biaya yang efektif dan terukur tanpa mengorbankan kinerja,” kata Joseph Sprague, Wakil Presiden Senior Alaska Airlines, dikutip seattletimes.com, Selasa (7/6/2016).
Maskapai ini memperkirakan, bahan bakar yang mencampur biofuel 20% dalam dua penerbangan itu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50%.
Alaska Airlines telah menargetkan untuk menggunakan penerbangan biofuel berkelanjutan pada semua penerbangan pada satu atau lebih dari bandara utama pada 2020. Tantangan terbesarnya adalah menghasilkan biofuel pada skala besar pada harga yang sama dengan bahan bakar fosil reguler.