Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan menyelidiki Lion Air terkait penghentian frekuensi penerbangan di 93 rute domestik dan dua rute internasional. KPPU menilai penghentian rute selama satu bulan tanpa alasan jelas bisa dipandang sebagai penyalahgunaan posisi dominan di pasar.
Dugaan KPPU ini mengingat fakta Lion Air menguasai pasar yang sangat besar di industri penerbangan dalam negeri. “Menurut ketentuan UU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha yang menguasai pasar di suatu industri tidak boleh memanfaatkan posisi dominannya untuk menahan pasokan ke pasar yang menyebabkan kelangkaan barang dan membuat harga menjadi naik secara eksesif [sangat tinggi],” jelas Ketua KPPU Syarkawi Rauf, Sabtu (21/5/2016).
Dalam pandangan KPPU, operator penerbangan seperti Lion Air yang menguasai pasar penerbangan, khususnya low cost carrier atau penerbangan berbiaya murah di Indonesia bahkan di sejumlah rute, rentan menjurus pada praktik monopoli. “Kami mengimbau agar tidak melakukan langkah yang mengarah ke praktik persaingan tidak sehat dan merugikan konsumen,” jelas Syarkawi.
Selain itu, KPPU juga mengimbau Kemenhub untuk menghapus tarif bawah tiket penerbangan. Fakta menunjukkan bahwa selama implementasi tarif bawah sekitar 30% dari harga tiket tertinggi di setiap rute tidak mengurangi pelanggaran standar operasi di industri penerbangan.
“Bahkan, penerapan tarif bawah tiket penerbangan menyebabkan berkurangnya penumpang ke sejumlah rute. Penerapan tarif bawah telah membuat pertumbuhan jumlah penumpang menjadi melambat. Khusus untuk beberapa daerah pariwisata, penerapan tarif bawah tiket penerbangan telah menurunkan pertumbuhan ekonomi di daerah bersangkutan,” urai Syarkawi.
Apalagi menjelang Ramadan dan Idulfitri, diharapkan pertumbuhan penumpang tinggi. Namun dengan tarif bawah, ongkos penerbangan menjadi mahal dan menghambat pertumbuhan penumpang pesawat udara. “Penerapan tarif bawah menghambat persaingan di industri penerbangan dan menciptakan inefisiensi di industrinya. Lemahnya persaingan dapat menyebabkan kesemrawutan di industri penerbangan,” tambah dia lagi.
Sebagai contoh di Amerika Serikat yang industri penerbangan domestiknya sangat maju memiliki jumlah pembelian tiket lebih dari satu miliar. Sementara penduduk Amerika Serikat hanya sekitar 350 juta. Data ini menunjukkan bahwa setiap satu orang penduduk Amerika Serikat membeli kurang lebih tiga kali tiket pesawat per tahun.
Jika dibandingkan dengan Indonesia yang penduduknya sekitar 250 juta, imbuh Syarkawi, maka setidaknya dalam jangka panjang, pembelian tiket di Indonesia mencapai sekitar 750 juta kali. Artinya, setiap satu orang penduduk Indonesia membeli tiga kali tiket penerbangan. Namun demikian, saat ini, jumlah pembeli tiket di Indonesia hanya sekitar 65-70 juta. “Angka ini masih jauh dari ideal jika kita menggunakan industri penerbangan Amerika Serikat sebagai patokan,” jelas dia.
Harapan ini tidak bisa tercapai dalam jangka menengah akibat regulasi Kemenhub yang tidak pas dengan menetapkan tarif bawah di industri penerbangan. Justru pemerintah harus melajukan law enforcement yang tegas, seperti yang dilakukan terhadap Lion Air untuk menjamin keselamatan industri penerbangan. Bukan dengan cara menerapkan tarif bawah. “Ini seolah-olah tarif tinggi dapat menjamin safety di industri penerbangan. Seolah-olah tarif dapat menjamin berkurangnya Standard Operating Procedure (SOP) di industri penerbangan,” kata dia seperti dikutip detiknews.com.
Menurutnya, fakta yang terjadi justru sebaliknya. “Tidak ada hubungan antara safety atau keamanan penerbangan dengan tarif, tetapi justru yang terpenting adalah penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap setiap pelanggaran keselamatan penerbangan oleh operator,” kata Syarkawai.