Mesir telah menandatangani kontrak dengan Prancis untuk membeli 30 jet tempur Rafale. Kementerian pertahanan Mesir mengatakan kesepakatan itu akan dibiayai melalui pinjaman yang akan diangsur selama setidaknya 10 tahun, tetapi tidak mengungkapkan nilai kesepakatan atau rincian lebih lanjut.
Namun menurut situs investigasi Disclose kesepakatan itu bernilai US$ 4,5 miliar atau sekitar Rp65 triliun atau rata-rat sekitar Rp2,2 triliun per unitnya. Mengutip dokumen rahasia, Disclose mengatakan kesepakatan telah disepakati pada akhir April dan disegel pada ketika delegasi Mesir tiba di Paris pada Selasa.
Kesepakatan ini akan menjadi dorongan lebih lanjut untuk pesawat perang buatan Dassault setelah kesepakatan 2,5 miliar euro atau sekitar Rp43 triliun untuk penjualan 18 Rafale ke Yunani. Kesepakatan ini diselesaikan pada Januari 2021
Kesepakatan Mesir juga dilaporkan mencakup kontrak untuk penyedia rudal MBDA dan penyedia peralatan Safran Electronics & Defense senilai 200 juta euro atau sekitar Rp 3,5 triliun,
Menteri Pertahanan Prancis Florence Parly mengatakan kesepakatan itu menggambarkan sifat strategis kemitraan antara kedua negara dan akan mengamankan 7.000 lapangan pekerjaan di Prancis selama tiga tahun.
Kesepakatan itu juga mencakup kontrak untuk penyedia rudal MBDA dan penyedia peralatan Safran Electronics & Defense senilai 200 juta euro lagi.
Prancis adalah pemasok senjata utama ke Mesir antara 2013-2017. Paris menyelesaikan kontrak lebih dari 7,5 miliar euro atau sekitar Rp 108 triliun dalam kesepakatan senjata dengan Kairo antara 2010-2019. Kesepakatan termasuk 24 pesawat Rafale pada 2015 sekaligus menjadi penjualan ekspor pertama jet tempur besutan Dassault tersebut. Kontrak-kontrak itu berhentik termasuk kesepakatan untuk lebih banyak jet Rafale dan kapal perang yang telah berada pada tahap lanjutan.
Presiden Emmanuel Macron mengatakan pada Desember 2020 mengatakan dia tidak akan membuat penjualan senjata ke Mesir bersyarat hak asasi manusia karena dia tidak ingin melemahkan kemampuan Kairo untuk melawan terorisme di wilayah tersebut. Sebuah komentar yang memicu kemarahan para kritikus.
Namun para diplomat mengatakan berhentinya sejumlah kontrak lebih itu berkaitan dengan masalah pembiayaan karena kekhawatiran tentang kemampuan jangka panjang Kairo untuk membayar kembali pinjaman. Bukan masalah kekhawatiran Paris dengan situasi hak asasi manusia di Mesir.
Benedicte Jeannerod, Direktur Human Rights Watch untuk Prancis langsung mengecam kesepakatan itu. Dia mengatakan dengan menandatangani kontrak besar senjata Prancis telah mendorong penindasan di negara tersebut, Menurutnya Presiden Mesir Abdel Fattah al telah memimpin penindasan terburuk dalam beberapa dekade di Mesir serta melakukan pemberantasan komunitas hak asasi manusia di negara itu seerta melakukan pelanggaran yang sangat serius di bawah dalih perang melawan terorisme.
Prihatin dengan kekosongan politik di Libya, ketidakstabilan di seluruh kawasan, dan ancaman dari kelompok-kelompok garis keras di Mesir, kedua negara telah memupuk hubungan ekonomi dan militer yang lebih erat sejak Sisi naik ke tampuk kekuasaan. Organisasi hak asasi menuduh Macron menutup mata terhadap apa yang mereka katakan meningkatkan pelanggaran kebebasan oleh pemerintah Sisi.
Mesir dalam beberapa tahun terakhir terus jorjoran membeli senjata. Bahkan pada 2015 Mesir sempat menjadi pengimpor terbesar keempat di dunia. Selain membeli jet tempur Rafale, negara ini juga mendapatkan dua kapal serbu amfibi kelas mistral buatan Prancis yang seharusnya dikirim ke Rusia.
Mesir juga telah mulai menerima Su-35 yang dibeli dari Rusia. Negara ini dikabarkan membeli antara 24-31 turunan terakhir dari SU-27 Flanker tersebut. Negara ini juga telah menerima 46 jet tempur MiG-29M yang dipesan pada tahun 2015.
Lantas darimana Mesir mendapatkan uang yang begitu besar untuk belanja sementara ekonomi negara tersebut tidak terlalu kuat. Sesungguhnya negara ini membeli senjata tidak dengan uangnya sendiri. Kairo mendapat bantuan miliaran dolar dari negara-negara asing, terutama negara-negara Arab kaya minyak. Mereka membantu Mesir membangun kekuatan militernya karena permusuhan antara Arab dan Iran.
Mesir setiap tahun juga mendapat bantuan militer dari Amerika Serikat senilai sekitar US$1,3 miliar. Bantuan ini bergantung pada bagaimana Mesir bisa mempertahankan hubungan damai dengan Israel. Tetapi sekarang hal itu tidak lagi jadi masalah karena Israel telah menjadi sekutu resmi dari negara-negara Arab dalam upaya mereka untuk mencegah invasi Iran.
Alasan lain Mesir membeli banyak senjata karena pergolakan tanpa henti di negara ini setelah Arab Spring yang menerjang negara tersebut pada 2011 hingga memunculkan pemberontakan yang berakhir pada penggulingan pemerintah pada 2013.