Air New Zealand menghentikan larangan, yang sudah lama diberlakukan, terhadap awak pesawat untuk memiliki rajah tubuh di bagian yang mudah terlihat karena menghadapi tudingan diskriminasi terhadap pekerja dari etnis Maori.
Sebagian warga Selandia Baru keturunan Maori memakai rajah tubuh di wajah atau lengan mereka sebagai bagian silsilah keluarga dan budaya suci. Namun, kebijakan seragam pada penerbangan nasional itu membatasi mereka untuk melamar sebagai awak kabin pesawat.
Banyak pendukung hak budaya mengatakan bahwa kebijakan tersebut diskriminatif. Mereka mencatat bahwa Air New Zealand menarik penggunaan bahasa Maori dari kampanye pemasarannya dan memakai lambang daun pakis yang disebut “Koru” sebagai logo yang juga dipasang di semua ekor pesawat.
Direktur Eksekutif Air New Zealand Christopher Luxon mengatakan Senin 10 Juni 2019 kebijakan tersebut dibatalkan dan pemakaian tato atau rajah yang tidak menyinggung akan diperbolehkan.
“Dalam percakapan yang kami lakukan dengan pelanggan dan masyarakat kami sendiri maupun yang berada di luar negeri dalam lima bulan terakhir, sudah nyata bahwa pemakaian rajah tubuh semakin bisa diterima di Selandia Baru, khususnya yang mempunyai makna budaya dan ekspresi diri,” kata Luxon dalam pernyataan melalui email.
Tania Te Whenua, kepala badan hukum dan konsultasi Te Whenua yang melayani konsultasi budaya Maori ke organisasi tersebut, mengatakan perusahaan-perusahaan Selandia Baru, khususnya yang mendapat keuntungan dari pemakaian budaya Maori dalam kampanye pemasaran internasional, harus menghargai hak-hak budaya pegawainya.
“Ini adalah kelemahan, pemakaian budaya Maori oleh banyak lembaga hanya sebatas untuk mendapat keuntungan, yang yang secara khusus mengerikan bagi Maori,” katanya kepada Reuters.
Rajah tubuh yang disebut “TA Moko” merupakan wujud yang sangat agung untuk identitas budaya, kata Te Whenua.
“Kebijakan yang berusaha memberantas praktik-praktik penampakannya merupakan tamparan keras”.