Iran baru saja lolos dari embargo senjata PBB selama 13 tahun dan ingin menambah persenjataan militernya. Salah satu yang santer dikabarkan adalah Teheran ingin mengakuisi jet tempur J-10 guna menambal kekuatan udaranya yang diisi jet-jet tempur tua. Tetapi China, meski cukup semangat menjual jet tempur tersebut, terlihat enggan melepasnya untuk Iran. Lantas apa masalahnya?
Zhou Chenming, seorang analis pertahanan yang berbasis di Beijing mengatakan kepada South China Morning Post bahwa Iran tidak dapat membayar pesawat yang dibelinya dengan dolar atau euro secara tunai ke China. Sebaliknya, Teheran lebih suka menggunakan minyak dan gas alam sebagai alat barter.
Di sisi lain, China telah mengumpulkan cadangan energi yang sangat besar dan ingin menghasilkan uang melalui kesepakatan senjata. Kesepakatan itu akan lebih menarik jika Iran menawarkan uang tunai tetapi serangkaian kendala ekonomi mencegah Teheran melakukannya.
Chengdu J-10 adalah jet tempur ringan multi-peran bermesin tunggal yang mampu melakukan operasi segala cuaca. Pesawat sebagian besar dirancang untuk pertempuran udara-ke-udara tetapi juga cocok untuk misi serangan darat. Dibandingkan dengan buatan Rusia, Eropa, dan Amerika, J-10 China dilaporkan sebagai jet tempur termurah di kelasnya yang tersedia di pasar.
Didukung oleh mesin Rusia yang memberikan daya dorong statis maksimum sekitar 123 kN, sayap delta canard J-10C adalah versi yang ditingkatkan dari pendahulunya. Pesawat telah menggunakan radar AESA dan terbuat dari bahan komposit untuk kekuatan tinggi dan bobot yang lebih rendah.
Iran telah menawarkan kesepakatan barter ke China karena tidak ingin membuang cadangan devisa yang berharga. Sebelumnya ada desas-desus Iran yang menerima bantuan keuangan senilai US$3 miliar yang diberikan oleh Qatar, tetapi mengingat deflasi mata uang nasionalnya baru-baru ini, sepertinya kabar itu tidak benar.
Kesepakatan barter sedang diupayakan dalam konteks Perjanjian Kerja Sama Strategis China-Iran selama 25 tahun yang ditandatangani pada 26 Maret 2021 ini. Menurut The Diplomat, eski kesepakatan itu tidak menyebutkan konsesi militer besar-besaran, masih ada ruang untuk hubungan militer lebih lanjut di dalamnya,.
Prioritas China harus melewati dampak perang dagang dengan Amerika dan krisis COVID, menurut Ni Lexiong, seorang ahli militer yang berbasis di Shanghai. Indonesia sudah memiliki pasokan minyak dan gas yang cukup stabil di lingkungan di mana harga sumber daya ini tetap turun.
Selain itu China juga harus berhati-hati meningkatkan hubungan militer dengan Iran akan memberi sinyal tidak baik kepada Israel dan negara-negara Arab di kawasan itu. Abdullah Al Junaid, pakar strategis dari Bahrain menyebut China menyadari kepentingannya mungkin berisiko jika terlalu dalam melakukan hubungan dengan Iran. Arab Saudi, Uni Emirat Arab selama ini juga dikenal sebagai mitra dagang besar bagi China. Sementara dua negara tersebut berseberangan dengan Iran.
Namun keterlibatan dengan Iran disisi lain juga bisa mengkikis hegemoni Amerika. Jon Alterman, wakil presiden senior di Pusat Kajian Strategis dan Internasional menyatakan bahwa Iran yang lebih kuat akan bertindak sebagai pelapis yang berguna bagi Beijing dengan membuat Angkatan Laut Amerika lebih sibuk di Teluk daripada di kawasan Indo-Pasifik.