Pesawat yang berbasis pada Boeing 737 ini memang tidak sesexy jet tempur seperti F-22 Raptor atau F-35 Lightening II, tetapi P-8A Poseidon dalam beberapa hal jauh lebih berbahaya terutama ketika memburu dan membunuh kapal selam alwan.
Memburu kapal selam dari udara, adalah pekerjaan sangat berat yang membutuhkan banyak airframes dan menghabiskan ribuan jam terbang untuk menerbangkan pola patroli jarak jauh ke laut.
Sejak tahun 1962, Angkatan Laut Amerika telah mengoperasikan pesawat patroli P-3 Orion, yang didasarkan dari pesawat empat mesin L-88 Electra. Pesawat bertenaga turboprop bisa menghabiskan belasan jam terbang rendah di atas lautan untuk menjatuhkan pelampung sonar, memindai air untuk mencari lambung logam dari kapal selam dengan Magnetic Anomaly Detector (MAD) dan berpotensi meluncurkan torpedo.
Setelah lima 55 tahun pelayanan, P-3 yang telah mengumpulkan ribuan jam layanan mau tidak mau telah kelelahan.
Hingga pada tahun 2004 Angkatan Laut Amerika memilih pesawat jet P-8 Poseidon untuk menggantikan P-3. Pembangunan berjalan relatif lancar, sebagian karena penggunaan badan pesawat yang sudah ada sebelumnya dan keputusan adalah menggunakan strategi pengembangan sambil jalan daripada menempatkan semua kemampuan sekaligus.
P-8 didasarkan pada pesawat 737-800ERX ini seharga sekitar US$150 juta atau sekitar Rp2 triliun. Pesawat biasanya memiliki tiga awak dan memiliki dayan yang lebih kuat untuk elektronik onboardnya. Poseidon menawarkan perjalanan yang jauh lebih mulus daripada Orion, berkat sayap dan komputer penerbangannya yang lebih luas. Kru Orion sering merasa mual akibat turbulensi yang kuat ketika harus terbang rendah.
Sementara P-8 memiliki lambung yang diperkuat untuk beroperasi pada ketinggian rendah, meskipun pada sisi efisiensi bahan bakar berkurang dibandingkan dengan P-3. Poseidon dirancang untuk melakukan sebagian besar operasinya dari ketinggian tinggi, di mana atmosfer yang lebih tipis memungkinkan efisiensi bahan bakar lebih besar dan keunggulan yang lebih baik untuk beberapa sensornya.
Poseidon dapat berkeliaran dengan kecepatan serendah dua ratus mil per jam, dan dapat terus berada di udara lama karena kemampuan pengisian bahan bakar di udara. Namun, dengan kecepatan maksimum 564 mil per jam pesawat bisa juga melaju dua ratus mil per jam lebih cepat dari pada pesawat P-3 yang diganti.
Muatan utama Poseidon adalah beragam sensornya, termasuk radar aperture sintetis APY-10 multi-mode, yang tidak hanya dapat melacak posisi kapal yang jaraknya lebih dari ratusan mil, namun memiliki mode resolusi tinggi yang dapat melihat periskop kapal selam yang keluar di atas ombak dan bahkan
mengidentifikasi kelas kapal selam.
Sebuah turbin elektro-optik / inframerah MX-20 menyediakan pilihan pencarian jarak jauh, sementara ALQ-240 Electronic Support Measure (ESM) berasal dari sistem onboard yang dikembangkan oleh EA-18G Growler sebagai sensor elektromagnetik, yang sangat berguna untuk melacak posisi pemancar radar.
Penambahan terbaru adalah Advanced Airborne Sensor, radar AESA dua sisi yang dapat menawarkan pemindaian 360 derajat pada target di wilayah darat atau pesisir, dan yang memiliki aplikasi potensial sebagai platform jamming atau bahkan cyberwarfare.
Sejumlah sistem kunci pada P-8 dirancang untuk melacak kapal selam yang tenggelam. Sistem peluncur di bagian belakang P-8 dapat mengeluarkan pelampung sonar ke dalam air. Upgrade baru-baru ini memungkinkan P-8 untuk menggunakan pelampung Multistatic Active Coherent baru yang menghasilkan banyak gelombang sonar dari waktu ke waktu, memungkinkan jangkauan ketahanan dan pencarian yang lebih baik.
P-8 juga memiliki sensor akustiknya sendiri, dan bahkan sensor hidrokarbon baru yang bisa mengendus uap bahan bakar dari kapal selam.
Namun, P-8 tidak memiliki sensor MAD di ekor seperti Orion P-3 yang berguna untuk mendeteksi lambung logam kapal selam saat terbang di ketinggian rendah. Berbagai alasan telah ditawarkan untuk menggantinya: MAD yang beratnya hampir mencapai 3.500 pound, tidak sesuai dengan profil pencarian high-altitude P-8, atau sensor baru pada P-8 membuatnya tidak perlu.
Hanya saja Angkatan Laut Amerika dilaporkan mengembangkan varian dari pesawat terbang yang diluncurkan, yang disebut High-Altitude Unmanned Targeting Air System, yang dapat membawa sensor MAD dan mengirimkan temuannya kembali ke P-8.
Lima stasiun operator di sisi port pesawat membawa display multifungsi yang dapat dikonfigurasi untuk menampilkan sensor dan kontrol apa pun yang paling berguna dalam situasi ini. Komputer P-8 dirancang untuk menggabungkan data ke dalam satu gambar koheren untuk operator-dan kemudian dapat “mendorong” data tersebut ke kapal dan pesawat terbang kawan.
Beberapa orang berpendapat bahwa Poseidon dapat berubah menjadi semacam pembom B-52 dengan melepaskan berbagai senjata dipandu, seperti rudal antiradar jarak jauh AGM-158, rudal antipert LR-ASM atau small diameters boms untuk serangan darat.
Dengan banyaknya pesawat yang dibeli baik oleh Amerika Serikat maupun negara lain menjadikan Poseidon akan ada di mana-mana. Angkatan Laut Amerika di Pangkalan Udara Kadena di Okinawa saja saat ini sekitar 50 pesawat telah beroperasi di sana.
P-8 telah dikirimkan Amerika ke dekat China dan Rusia. Bahkan Beijing sempat marah ketika Amerika Serikat mencapai kesepakatan dengan Singapura pada 2015 yang memungkinkan pesawat P-8 berbasis di negara itu. Dengan semua fakta tersebut, P-8 Poseidon hampir pasti akan menjadi platform yang menyebalkan bagi kapal selam.