Pesawat pengintai dan komando udara E-8C Joint Surveillance Target Attack Radar System (JSTARS) milik Angkatan Udara Amerika Serikat akhirnya keluar dari Timur Tengah setelah 18 tahun tanpa henti dikerahkan ke wilayah tersebut. Pesawat terlibat dalam sejumlah perang di wilayah tanggung jawab Komando Pusat Amerika.
Dikenal sebagai JSTARS, pesawat pengintai, manajemen pertempuran, serta komando dan kontrol udara berangkat dari Pangkalan Udara Al Udeid di Qatar 1 Oktober 2019 lalu.
“Melihat keluar jendela dek penerbangan dan melihat Al Udeid dari kejauhan untuk terakhir kalinya setelah bertahun-tahun adalah kesempatan yang sangat penting,” kata Kolonel Konata Crumbly, komandan pesawat JSTARS dalam rilis Air Guard yang dikutip Air Force Times Kamis 7 November 2019.
“Sulit untuk mengukur jenis keberhasilan yang dicapai oleh penerbang dan personel Tim JSTARS kami selama 18 tahun terakhir,” kata Crumbly.
Keberangkatan JSTARS dari Timur Tengah terjadi setelah pesawat melampaui 113.337 jam tempur . Ini setera dengan hampir 13 tahun terbang terus-terusan di area tanggung jawab CENTCOM. Capaian jam terbang ini terjadi pada bulan September 2019.
“Pesawat terbang setiap hari, rata-rata sekitar 11 jam per penerbangan, untuk mendukung operasi wilayah, “ kata siaran pers tersebut.
Berdasarkan data yang ada biaya satu jam penerbangan dari pesawat ini sekitar US$70.780 atau kurang lebih Rp2,4 miliar. Jika sehari rata-rata dia terbang 11 jam maka menghabiskan sekitar Rp26 miliar (dengan kurs 2019). E-8C menjadi salah satu pesawat Angkatan Udara Amerika dengan biaya penerbangan paling mahal.
Secara keseluruhan, JSTARS mengumpulkan 10.938 sorti dan 114.427 jam terbang untuk mendukung hampir setiap operasi CENTCOM – termasuk Enduring Freedom, Freedom Irak, Sentinel Freedom dan Inherent Resolve – selama perang di Irak, Suriah dan Afghanistan.
Pesawat JSTARS, yang berbasis di Pangkalan Angkatan Udara Robins di Georgia, pertama kali mulai dikerahkan ke Timur Tengah pada November 2001.
JSTARS yang dibangun berdasarkan Boeing 707 ini diperkirakan akan terus terbang selama beberapa tahun lagi, hingga pertengahan 2020-an, tetapi pada akhirnya akan digantikan oleh Advanced Management Management System, sesuai dengan anggaran pertahanan 2019.