Lagi hangat soal G 30S/PKI, kita jadi ingat ada adegan dimana DN Aidit memutuskan untuk melarikan diri. Nah, dia ternyata naik pesawat. Melihat gambarnya dalam film, itu adalah pesawat jenis DC-3 Dakota. Dalam versi militer, pesawat ini bernama DC-47. Menurut data, nomor ekol pesawat ini adalah T-443.
Ditulis dalam Wikipedia, pesawat DC-3 Dakota merupakan pesawat penumpang sipil (airliner) sayap rendah (low wing) legendaris. Tidak ada pesawat jenis lain yang paling banyak ikut serta dalam kancah peperangan selain Dakota. DC-3 digunakan semasa Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam dan juga peperangan di berbagai belahan dunia pada tahun 1930-1970-an.
Di Indonesia, hampir semua perusahaan penerbangan baik yang berjadwal maupun carter, pada awalnya mengoperasikan DC-3. Bahkan sampai kini, beberapa Dakota masih laik terbang dan dipakai untuk keperluan Federasi Aero Sport Indonesia (FASI). Dakota FASI yang diberi gambar menarik, seperti Den Bey itu, diterbangkan untuk terjun payung dan joy flight, juga dicarter para petualang.
Pesawat Douglas DC-3 mulai diproduksi pabriknya Douglas Aircraft Company tahun 1935, dengan uji terbang akhir tahun itu dan mulai dioperasikan tahun 1936. DC-3 merupakan penyempurnaan pesawat pendahulunya DC-1 dan DC-2. Yang pertama mengoperasikan DC-3 adalah American Airlines yang juga sebagai pencetus ide.
Pesawat pertama itu kemudian dioperasikan oleh militer, selanjutnya jatuh dan terbakar pada 15 Oktober 1942 di Knob Noster, Missouri, Amerika Serikat. Kecelakaan fatal terjadi pada Desember 1936, DC-3 United Airlines jatuh di San Francisco menewaskan 21 penumpangnya.
DC-3 memang populer sebagai angkutan udara komersial karena aman, ekonomis dan nyaman pada masa itu. Banyak maskapai AS mengoperasikannya, seperti United Airlines, Trans World Airlines, Eastern Airlines dan Delta Airlines.
Negara-negara Eropa juga meliriknya. Perancis memproduksi Bloch 220s pada 1938, pesawat 22 penumpang seperti DC-3. Italia mencoba, walau gagal. Douglas pun memberi lisensi pada tiga negara: Belanda, Rusia dan Jepang untuk memproduksinya. DC-3 milik Belanda pula yang pertama terbang ke Indonesia pada tahun 1940.
Populasinya sampai tahun 1946 saat produksi dihentikan 10.629 pesawat, tersebar di seluruh belahan dunia. Lebih 50 tahun DC-3 masih dioperasikan komersial oleh berbagai maskapai di dunia. Comair sampai 1989 masih mengoperasikan DC-3. Pada Juni 1989, Provincetown-Boston Airlines masih menerbangkan DC-3 yang airframe-nya memiliki 92.000 jam.
Di Indonesia ada DC-3 “Seulawah” yang memiliki panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 m, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam. Dengan bahan bakar penuh, Dakota mampu terbang sejauh 2.430 km.
Yang unik dan menarik, Dakota memiliki banyak julukan. Paling banyak dibandingkan pesawat-pesawat jenis lain. Sebutan ‘Dakota’ sendiri karena penamaan dari Royal Air Force (angkatan udara Britania Raya). Julukan pertama The Flying Vagrant karena kedua sayapnya yang panjang itu tak mendukungnya sama sekali. Selain itu, ada pula yang menjulukinya Grand Old Lady, juga Skytrain. Dakota memang terkesan ‘gemuk dan bodoh’, tak heran julukan Gajah Terbang (The Flying Elephant) pun disandangnya, di samping julukan Gooney Bird, Dumbo atau Taby. Julukan Biscuit Bomber pernah melekat setelah si pesawat melakukan dropping ransum 5.000 karton biskuit.
Dakota adalah pesawat legendaris. Di berbagai museum di AS, pesawat DC-3 ini menjadi kenangan. Indonesia pun tak ketinggalan. Untuk mengenang perjuangan rakyat Aceh, replika “Seulawah” dibangun di Balai Kota Banda Aceh, juga satu DC-3 di anjungan Aceh Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta.