Singapore Airlines mengatakan pada Jumat, 4 Agustus 2017 bahwa pihaknya menawarkan kru kabin untuk mengambil cuti tanpa gaji. Tawaran sulit ini dikeluarkan karena maskapai tersebut membutuhkan pemotongan biaya operasional. Banyak pihak mungkin belum tahu, bahwa SIA yang pernah sangat fenomenal karena pertumbuhan bisnisnya, kini harus berjuang untuk bertahan di pasar yang semakin sulit.
SIA, tidak bernasib seperti Singapura itu sendiri. Sebagai negara kota, Singapura unggul dalam semua lini secara regional. Negara ini stabil secara politik dan ekonomi sehingga bisnis berkembang dan nyaris tanpa gangguan.
Di sisi lain, SIA harus berjuang dalam persaingan ketat dengan maskapai berbiaya rendah baik yang berbasis di Asia maupun maskapai penerbangan Timur Tengah. SIA jelas tidak mampu bersaing dengan Air Asia yang bisa menjual tiket sedemikian murah. Sementara untuk kelas bisnis yang tiketnya selangit, SIA harus melawat Etihad, Qatar atau Emirates. Ketiganya memiliki armada modern dan layanan dengan kualitas terbaik. SIA seperti pelanduk yang harus mati di tengah pertempuran karena posisinya yang serba nanggung.
Maskapai ini mencatat kerugian pada kuartal keempat tahun 2016. Mereka kemudian melakukan peninjauan secara menyeluruh terhadap kinerja maskapai. Sempat ada desakan agar tidak dilakukan kebijakan yang menyangkut para pekerja, namun sepertinya SIA menolak desakan itu. Tetap harus ada langkah memotong jumlah staf mereka.
Maskapai tersebut mengatakan telah menawarkan kru kabinnya pilihan untuk melakukan cuti tanpa gaji antara bulan September dan November tahun ini karena adanya kelebihan sementara awak kabin. “Memiliki surplus sementara atau defisit awak kabin tidak biasa karena sifat bisnis kami, dan skema sukarela ini dalam jangka waktu tertentu adalah untuk memastikan bahwa kami mengelola secara efisien sumber daya awak kabin dan persyaratan operasional,” kata seorang juru bicara SIA.
Juru bicara itu menambahkan bahwa maskapai tersebut sekarang berencana untuk terus menawarkan opsi tersebut di masa depan. Namun, tidak dijelaskan berapa banyak dari 8.200 staf, yang menerima tawaran tersebut atau berapa banyak staf yang mereka harapkan akan ikut ambil bagian dalam skema ini. Kebijakan semacam ini terakhir mereka lakukan pada 2009, setelah krisis keuangan global.