Melacak setiap pergerakan pesawat di langit yang jumlahnya sampai 14.000 atau lebih pada saat tertentu, bisa jadi sebuah tugas yang memabukkan. Tapi tim penggemar air travel di Stockholm, Swedia, mampu melakukannya secara rinci dengan membangun sebuah jaringan teknologi receiver yang ditempatkan di seluruh dunia.
Flightradar24, pertama kali membuat terobosan pada 2010. Ketika itu, muncul gangguan abu vulkanik Eyjafjallajökull di Islandia yang berakibat pada kacaunya ribuan jadwal penerbangan di Eropa. Berawal dari momen bersejarah itu, perusahaan tersebut kini telah tumbuh pesat dan menjadi rujukan bagi semua penggemar penerbangan dan bahkan pemerintah untuk keperluan penyelidikan sebuah insiden lalu lintas udara.
“Saya akan mengatakan, bahwa kredibilitas data kami telah berkembang pesat. Media [massa] dengan cepat telah mempercayai dan merujuk ke layanan kami,” kata Mikael Robertsson, salah satu co-founder flightradar24 seperti dikutip ABC News di kantor pusat Flightradar24, Stockholm.
Tak hanya media massa, instansi pemerintah seringkali mencari data dari databank flightradar24. Robertsson mencatat bahwa sekelompok pejabat pemerintah baru-baru ini mengunjungi kantor pusat perusahaan tersebut di Stockholm. “Mereka menggunakan data yang kami pasok dan ingin mengetahui bagaimana agar bisa mengaksesnya lebih cepat,” kata dia.
Dimulai dari bisnis remeh berisi situs perbandingan harga tiket pesawat, perusahaan itu tumbuh menjadi bisnis menguntungkan bagi flightradar24, yang menjual aplikasi senilai US$3,99 (sekitar Rp54.657) dan juga menawarkan langganan yang diarahkan untuk bisnis dan konsumer.
Fredrik Lindahl, CEO Flightradar24, mengatakan, perusahaan itu kini memiliki sekitar 1,5 juta pengguna setiap harinya yang tersebar di seluruh dunia.
Keunggulan kompetitif di belakang flightradar24 adalah jaringan perusahaan berupa lebih dari 10.000 receiver yang tersebar di seluruh dunia. Receiver itu ditempatkan di atas gedung perkantoran, di bandara atau bahkan di atap rumah milik penggila dunia aviasi. Antena di atap terhubung kabel ke penerima di dalam yang berfungsi mengumpulkan data.
“Dengan sekitar 10.000 receiver, coverage [pantauan] kami hampir meliputi semua daratan yang ada di Bumi. Kami punya beberapa bolong-bolong di China dan Afrika, tapi hampir semua daratan sudah terlingkupi,” kata Robertsson.
Dia menjelaskan, setiap pesawat dilengkapi perangkat transponder yang memancarkan sinyal ADS-B. Jika pesawat terbang di laut lepas, sinyal itu tetap tertangkap oleh receiver yang jaraknya 150-200 mil (241-321 kilometer) dari pesawat tersebut. Receiver tersebut lalu mengunggah data ke sejumlah server milik Flightradar24 setiap lima detik.
“Transponder pesawat memancarkan data dua kali tiap detik,” jelas Robertsson. “Jadi, selama lima detik, receiver sebetulnya menerima sepuluh kali sinyal dari pesawat, tapi kemudian mengunggahnya dalam satu paket. Sistem ini membuat kami hemat ruang data di server.”
Saat Bencana Melanda
Robertsson dan Lindahl mengatakan, hari-hari tersibuk yang pernah mereka alami adalah saat terjadi gangguan abu vulkanik di langit Eropa saat gunung vulkanik terus menyemburkan asap piroklastik. Saat itu orang-orang takjub dengan kondisi langit yang betul-betul kosong dari lalu lintas pesawat dan terus-menerus mengecek website flightradar24.
Namun hari paling sibuk seumur hidup bagi mereka adalah beberapa hari setelah pesawat Malaysia Airlines Penerbangan MH370 menghilang dari pantauan radar.
“Berita kejadian itu keluar sebelum tengah malam waktu Swedia,” kata Robertsson. “Saya ingat saat itu baru akan pergi tidur dan saya melihat di beberapa media memberitakan sebuah pesawat hilang. Saya pun membatalkan tidur dan mulai memeriksa data kami. Ternyata kami memiliki data pesawat tersebut meninggalkan pantai di Malaysia. Semula selama 20 menit, saya berpikir bahwa itu hanya sebuah kasus pesawat hilang kontak radar. Tapi kemudian media massa mulai melaporkan pesawat telah jatuh di China, Vietnam, beberapa melaporkan pesawat mendarat. Informasi begitu banyak dan beragam yang keluar. Hari itu serasa terjadi kekacauan besar. ”
Malam itu juga, Robertsson menarik data titik terakhir MH370 di flightradar24 yang terekam terakhir berada di lepas pantai Malaysia. Ia kemudian membuat cuitan di twitter tentang hal itu dan juga mempostingnya di Facebook, berharap hal itu bisa membantu memberikan beberapa kejelasan di tengah simpang siurnya informasi yang berkembang di media massa.
Selama sekitar 12 jam, banyak laporan berkembang dengan sangat kacau. “Ada yang mengatakan pesawat menabrak, kebakaran dan mendarat,” katanya. “Dan kemudian media mulai kembali dan memeriksa. Saya pikir mungkin itu adalah pertama kalinya media massa mulai mempercayai data yang kami punya dan mulai melaporkan posisi terakhir berada di luar pantai Malaysia. Butuh waktu antara 12 hingga 24 jam, sebelum pemberitaan tentang insiden tersebut mulai kredibel.”
Empat bulan kemudian, MH17 ditembak jatuh di Ukraina Timur. Hanya butuh lima menit server Flightradar24 jadi down lantaran diserbu jutaan pengakses.
Setelah insiden Malaysia Airlines yang pertama, kata Robertson, Flightradar24 mulai merekam semua data dari receiver, sehingga mereka bisa dengan mudah mengambilnya saat terjadi bencana penerbangan. “Semuanya data disimpan dalam kotak. Jadi jika terjadi sesuatu kami bisa kembali dan men-download data,” katanya.
Sebuah receiver hanya dapat memiliki lima sampai sepuluh jam data sebelum kehabisan memori dan harus dihapus lalu ditimpa data baru. “kami harus bertindak cukup cepat ketika sesuatu terjadi untuk mengambil dan mendapatkan data,” kata dia.
Saat 24 Maret 2015 terjadi kecelakaan Germanwings Penerbangan 9525 di Pegunungan Alpen Prancis, tim flightradar24 langsung mengunduh data dari receiver mereka dan menampilkan gambaran jelas tentang fakta pergerakan pesawat yang diturunkan secara sengaja. Dari data yang mereka tangkap, muncul dugaan kuat kecelakaan itu disengaja.
“Kami tidak mengeluarkan pernyataan sampai pihak berwenang mengatakan ia [co-pilot] pada dasarnya bunuh diri. Tapi sebelum pernyataan itu muncul ke publik, sebetulnya kami sudah bisa melihat adanya dugaan itu,” kata Lindahl. “Kami pikir bukan ranah kami untuk melakukan publikasi dugaan-dugaan, sebelum pihak berwenang menyatakannya. Tapi setelah [pernyataan] itu dikeluarkan, kami berbagi data [dengan pemerintah].”
Pertanyaan yang belum terjawab saat tragedi terjadi adalah apa yang membuat orang-orang kemudian beramai-ramai mengakses flightradar24. Namun Robertsson dan Lindahl mengatakan, ada kecenderungan terjadi lonjakan rasa ingin tahu masyarakat saat media massa terus menyiarkan berita tentang bencana-bencana penerbangan yang kadang simpang siur.
Ketika jaringan mereka kian berkembang luas, Robertsson dan Lindahl saat ini sedang mencari cara bagaimana agar membuat cakupan pantuan mereka benar-benar mengglobal. Ini berarti mereka harus menemukan cara memecahkan masalah paling sulit: bagaimana caranya mendapatkan sinyal saat pesawat terbang di tengah samudra nan luas.
Perusahaan itu memang telah memilki 10.000 receiver yang tersebar di seluruh dunia dan memiliki coverage area dalam rentang hingga 150 sampai 200 mil. Namun infrastruktur mereka ini tetap menyisakan celah cakupan untuk untuk ribuan penerbangan yang melintasi lautan setiap hari.
Di antara pilihan solusi, perusahaan sedang mempertimbangkan memasang satelit atau kapal yang dilengkapi dengan receiver. Balon juga menjadi salah satu pilihan tim Flightradar24. “Google telah bereksperimen dengan meluncurkan balon internet-beaming ke stratosfer, sesuatu yang mungkin juga bisa menjadi solusi untuk mencapai cakupan global bagi flightradar24,” kata Robertsson.
Google, kata dia, telah mengirim ke atas langit balon-balon yang bisa bertahan selama 100 hari di angkasa. “Jadi bukan balon yang hanya bertahan di angkasa selama beberapa jam atau hari saja. Kami berpikir bagaimana bisa mengirim balon ke angkasa yang bisa bertahan selama beberapa bulan atau tahun,” ujar Robertsson.