Arab Saudi memamerkan jet tempur F-15SA baru merEka pada pameran dirgantara di Riyadh Rabu 26 Januari 2018 lalu. Hal ini sekaligus menunjukkan mereka mulai menerima pesawat tempur yang mereka beli enam tahun lalu dalam dalam kontrak penjualan senjata luar negeri terbesar yang pernah dilakukan Amerika Serikat.
Raja Salman dan putranya, Menteri Pertahanan dan Wakil Putra Mahkota Mohammed bin Salman, menyaksikan aksi F-15 paling canggiih tersebut ketika bermanuver di atas langit.
Pemerintahan Obama pada 2010 menyetujui kesepakatan senilai US$60 miliar di tengah meningkatnya ketegangan antara Arab Saudi dengan Iran. Kesepakatan itu langsung menjadikan penjualan senjata miliaran dolar yang dilakukan sebelumnya untuk Arab Saudi menjadi terlihat kecil.
Selain 84 Boeing F-15SA, kesepakatan termasuk pesanan untuk upgrade 70 armada F-15 tua, rudal anti-radiasi HARM AGM-88, rudal dipandu Laser JDAM dan rudal Paveway dan peralatan serta jasa terkait.
Penjualan ini menjadi kemenangan besar bagi Boeing, yang menghadapi persaingan dengan Lockheed Martin yang membangun jet tempur siluman F-35. Boeing juga meraih penjualan senjata ke Qatar dan Kuwait tahun lalu.
“F-35 itu menggantikan semua pemain lain. Tapi model produksi generasi keempat, terutama Boeing F-15, akan memiliki waktu hidup lebih lama dari yang diperkirakan,” kata Richard Aboulafia, Wakil Presiden Analis di Teal Group yang berbasis di Virginia sebagaimana dilansir Reuters.
Riyadh menempatkan pesanan jet tempur untuk mendukung tujuan kebijakan luar negeri utamanya untuk melawan pengaruh Iran di kawasan itu, menurut pernyataan para pejabat AS saat itu.
Enam tahun kemudian, Arab Saudi mengerahkan jet-jet tempur mereka untuk menggempur Yaman yang dilihat sebagai intervensi Iran di wilayah tersebut. Tetapi peralatan canggih yang dikerahkan sejauh ini belum bisa mengakhiri operasi yang mulai digelar pada Maret 2015 lalu.
Riyadh menuduh Iran mendukung pemberontak Syiah Houthi Yaman, yang menggulingkan pemerintah yang didukung Saudi Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi lebih dari dua tahun yang lalu.
Meskipun hampir setiap hari serangan udara dilakukan, Arab Saudi belum berhasil menguasai keadaan. Houthi dan pasukan sekutu terus mengontrol Sanaa dan banyak daerah di utara Yaman. Pemberontak secara teratur menyerang tentara Saudi di pos pemeriksaan perbatasan dan menembakkan rudal yang terkadang mencapai jauh ke dalam wilayah Saudi.
“Tetapi tidak ada pertanyaan bahwa peralatan mengesankan telah menjadi anugerah untuk yang dipimpin koalisi Saudi,” kata Adam Baron, visiting fellow di European Council on Foreign Relations.
“Tapi pada akhirnya, persenjataan hanyalah satu hal dan situasi di lapangan adalah hal yang berbeda.”