Pemerintah berencana menerbitkan peraturan presiden pada paruh kedua tahun yang berisi regulasi yang lebih jelas tentang penggunaan bandara militer untuk kepentingan penerbangan sipil atau biasa disebut bandara enclave sipil.
Direktur Navigasi Penerbangan Kementerian Perhubungan Novie Riyanto mengatakan pemanfaatan bandara enclave sipil di Indonesia selama ini hanya berlandaskan pada nota kesepahaman antara Kemenhub dengan TNI. “Oleh karena itu, dalam perkembangannya, kita memerlukan payung hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan hanya sekadar MoU saja,” katanya di Jakarta, Senin (6/6/2016).
Selain sebagai payung hukum yang lebih kuat, lanjut Novie, perpres tersebut juga akan mengatur secara detail kewajiban dari masing-masing pihak yang terkait guna mencegah timbulnya tumpang tindih kewenangan.
Dengan perpres tersebut, dia berharap industri penerbangan maupun TNI akan mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang lebih jelas dalam memanfaatkan bandara dan ruang udara di wilayah militer secara bersama-sama. “Kalau perpres kan sudah peraturan presiden yang rinci. Jadi, semua orang wajib patuhi. Kalau MoU kan tidak ada basic hukumnya. Misalnya, seperti pesawat akan landing, tapi pada saat yang sama ada latihan TNI. Holding dulu atau bagaimana,” kata dia dikutip Bisnis.com.
Novie menambahkan perpres tersebut juga akan mengatur seperti apa pengembangan atau master plan bandara enclave sipil ke depannya. Sayangnya, dia belum bisa menjelaskan secara detail terkait hal itu.
Tengku Burhanuddin, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mengapresiasi adanya aturan yang lebih jelas dalam pemanfaatan bandara enclave sipil. “Ini bagus kalau misalnya untuk bandara enclave sipil yang kecil . Namun, kalau untuk bandara enclave sipil yang frekuensi penerbangannya banyak, saya kira belum memadai,” ujarnya.
Tengku menilai jumlah bandara enclave sipil di Indonesia saat ini cukup banyak. Seiring dengan tumbuhnya minat pengguna jasa angkutan udara, beberapa bandara enclave sipil kini memiliki frekuensi penerbangan sipil yang cukup padat.
Dia menilai frekuensi penerbangan yang semakin padat ditambah dengan adanya latihan militer membuat kegiatan penerbangan mengalami kendala. Akibatnya, operator penerbangan menjadi kesulitan ketika akan menaikkan frekuensi penerbangannya. “Bandara enclave sipil masih banyak kendala, salah satunya terkait jam terbang. Mereka [militer] juga pakai untuk latihan. Makanya, perlu ada time frame yang jelas, apakah tetap dipakai militer atau buat bandara baru,” kata dia..
Oleh karena itu, Tengku berpendapat penggunaan bandara untuk kepentingan komersial dan militer lebih baik dipisahkan. Menurutnya, bandara enclave sipil sudah tidak lagi memadai untuk mengakomodir permintaan jasa angkutan udara yang kian meningkat.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo meminta adanya pengaturan yang lebih jelas agar pelaksanaan kegiatan penerbangan di bandara enclave sipil tidak saling mengganggu, baik untuk kepentingan penerbangan sipil maupun militer. “Pengaturan itu penting. Jangan sampai maskapai dan penumpangnya menunggu dalam waktu yang cukup lama, baik untuk berangkat maupun mendarat. Hal ini bisa membahayakan keselamatan penerbangan,” katanya.
Beberapa permasalahan yang perlu diatur lebih jelas antara lain sepert pembangunan dan pengembangan bandar udara, aset, pengaturan operasi penerbangan di wilayah bandara, batas daerah lingkungan kerja, hingga pengelolaan lalu lintas udara.