Banyaknya sekolah penerbangan komersial rupanya belum bisa memberikan jaminan direkrutnya lulusan untuk mengoperasikan pesawat di beberapa operator.
Sekitar 450 pilot yang rata-rata lulusan terbaru masih menganggur hingga 2016. Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan membahas persoalan dalam Indonesia Civil Aviation Training Seminar (ICATS) di Hotel Royal Ambarukmo, Depok, Sleman, Kamis (2/5/2016).
Kepala PPSDM Perhubungan Udara Kementrian Perhubungan Yuli Sudoso menjelaskan, seminar serupa dilakukan sejak 2014, merupakan wahana bertukar pikiran antar pelaku penerbangan dari berbagai belahan dunia. Pembahasan dilakukan mulai dari regulasi penerbangan hingga lembaga penyelenggara pendidikan penerbangan.
“Harapannya bisa meningkatkan kerjasama seluruh komponen penerbangan dalam menghadapi tantangan. Mulai dari meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan serta mencetak tenaga SDM mulai dari pilot, teknisi pesawat dan awak lainnya,” ungkapnya di Depok, Sleman, Kamis (2/5).
Kepala Seksi Operasi Pesawat Udara PPSDM Kementerian Perhubungan Kapten Win Warsono mengakui hingga saat ini masih terdapat sekitar 450 lulusan sekolah penerbangan komersial yang masih menganggur atau belum diterima di operator penerbangan. Dalam setahun, kata dia, sebanyak 65 lulusan pilot berhasil dicetak oleh lembaga pendidikan.
Meski demikian, untuk bisa diterima mengemudikan pesawat komersial, biasanya operator menentukan banyak syarat. Mulai dari jam terbang hingga sertifikasi kelas menerbangkan pesawat utamanya sekelas Airbus.
“Saat ini ada 450 fresh graduated yang belum diterima operator. Memang banyak yang nganggur, tergantung supply dan demand, kebutuhan pilot banyak, mereka tentu akan berkompetisi,” ungkapnya.
Sudah saatnya kita menyelaraskan kembali standar praktek latih (Practical Training Standards) untuk pendidikan penerbang sipil nasional. Sejak deregulasi maskapai pada tahun 2000 dan tumbuhnya industri angkutan udara sipil dalam dekade terakhir membawa kita pada posisi defisit terhadap ketersediaan Human Capital/SDM khususnya jumlah pilot yang tersedia. Hal ini sudah pernah dikemukakan pada tahun 2009-2010 tak lama setelah PBB mengumumkan status darurat “global aviation human capital shortage”.
Memang benar jumlah sekolah pilot saat ini jauh lebih banyak dibandingkan di awal tahun 2000-an terutama pasca krisis ekonomi dimana jumlah gabungan sekolah pilot di Indonesia pada saat itu hanya ada 3. Namun mengapa dengan bertambahnya sekolah pilot kita masih menghadapi kondisi defisit yang cukup signifikan dan mengapa jumlah pilot yang lulus dalam 3 tahun terakhir terus menurun, padahal jumlah pendaftaran (admission) tetap stabil bahkan meningkat?
Kata kunci disini adalah “bottlenecking”, dan hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu:
1. Kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat mengenai dunia penerbangan, khususnya bimbingan pendidikan dan karir dalam penerbangan sipil. Sangat minim sekali wadah serta aktivitas yang dapat memberikan informasi lengkap mengenai kriteria, persyaratan, dan peluang karir sebagai penerbang di Indonesia. Informasi yang beredar saat ini masih bersifat umum dan subyektif.
2. Pertumbuhan pasar angkutan udara yang sangat pesat, dimana terbukanya akses dan rute penerbangan baru serta bertambahnya jumlah armada dan maskapai membuat sarana transportasi udara menjadi pilihan yang paling ekonomis bagi berbagai kalangan. Namun pertumbuhan ‘demand’ dan ‘volume’ tersebut tidak diiringi dengan program pembaharuan SDM yang memadai dan berkesinambungan. Perlu diingat bahwa sejak akhir 1990-an pasca krismon, program pendidikan penerbangan sempat tersendat selama hampir satu dekade. Artinya, bila kita membutuhkan sekitar 750 – 1000 pilot baru setiap tahunnya sementara gabungan sekolah penerbangan hanya bisa mencetak maksimum 250 per tahun, kita akan selalu dihadapkan pada situasi defisit.
3. Mayoritas pendidikan pilot saat ini masih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri maskapai berjadwal alias airlines. Sementara itu, kebutuhan pilot juga sangat nyata di bidang lainnya seperti air charter, helikopter, agrikultur, pemetaan, logistik, dan berbagai operasi penerbangan lainnya. Dengan berorientasi pada karir di airlines, para siswa secara otomatis memiliki perspektif yang berbeda terhadap karir penerbangan lainnya dan bahkan dianggap tidak menarik. Sedangkan realita yang ada sekarang adalah, untuk bisa memulai karir di airlines seorang kadet (lulusan sekolah pilot) perlu memiliki sertifikasi serta pengalaman tambahan. Hal ini ditujukan untuk memberikan para kadet pemahaman yang cukup akan lingkungan penerbangan profesional serta memberikan transisi dari pengoperasian pesawat kecil ke pesawat yang lebih besar. Dengan mengawali karir dan mengumpulkan jam terbang dari pesawat kategori ringan, contohnya, hal ini dapat mempertajam pengalaman serta ilmu seorang penerbang junior. Sehingga pada saat kadet tersebut melamar ke airlines, dia sudah memiliki bekal yang lebih banyak dan bersamaan dengan itu semakin besar juga peluang untuk dapat diterima oleh airlines. Sekali lagi saya ulangi bahwa ini merupakan standar praktek industri penerbangan di luar negeri yang mengutamakan aspek safety (keselamatan) sebagai tolak ukur utama dengan acuan Civil Aviation Safety Regulation (CASR) yang disepakati dan diterbitkan oleh lembaga hukum udara internasional ICAO.
Dibutuhkan sebuah gerakan besar yang merangkul semua stakeholder industri penerbangan di Indonesia untuk dapat mengatasi masalah defisit ini. Tidak cukup kita hanya mencetak pilot baru. Kita harus mencetak pilot baru yang QUALIFIED sesuai dengan CASR.
jadi, gimana nasib yang nganggur. apakah di biar kan begitu saja ?
dengar2 kan indonesia kekurangan pilot ?