SKENARIO 2: Ancaman dari dalam
Insiden Mogadishu kian menggarisbawahi adanya “ancaman dari dalam” kepada dunia keamanan penerbangan. Pada November 2015, seorang pekerja bandara membantu menyelundupkan bom ke dalam pesawat maskapai penerbangan Rusia, Metrojet, di Bandara Sharm el-Sheikh, Mesir.
Bom itu, dimasukkan dalam pesawat Airbus A321 Metrojet dan meledak di ketinggian saat pesawat mencapai ketinggian jelajah. Semua 224 orang di dalam pesawat tewas.
Dalam beberapa jam setelah insiden, kelompok teror di Mesir yang terafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) mengklaim bertanggungjawab.
Beberapa waktu kemudian, majalah online ISIS, Dabiq, menampilkan sebuah foto kaleng soda yang mereka klaim telah dimodifikasi menjadi sebuah bom dan ditempatkan dalam pesawat tersebut.
Tokoh AS dari Partai Republik, Michael McCaul, yang juga menjadi pejabat di House Committee Departemen Keamanan Dalam Negeri, pada Kamis (19/5/2015) mengatakan, “Kamu bisa menerapkan teknologi terbaik untuk memindai, tapi begitu ada ancaman dari orang dalam, orang yang korup dan teradikalisasi, atau orang yang disuap untuk melakukan teror, ini akan menjadi hal yang sangat menakutkan.”
Para pejabat AS telah mengatakan kepada CNN bahwa dalam penyelidikan EgyptAir, investigator akan segera fokus pada awak darat dan siapa saja yang memiliki akses ke pesawat di Paris – serta awak pesawatnya. Sebab, terdapat riwayat adanya radikalisasi di kalangan pekerja bandara di Charles de Gaulle Airport.
Sebuah dokumen Kementerian Dalam Negeri Prancis pada 2004 menuliskan, ditemukan sebuah tempat doa ilegal di bandara yang digunakan oleh beberapa pekerja bandara Muslim”. Dalam dokumen tertulis sebagai masjid milik para penganut Islam radikal.
Beberapa pekerja yang sering mendatangi masjid itu, memiliki akses ke “airside”, seperti ke appron dan pos pemeriksaan keamanan terluar di bandara. Orang-orang ini dalam laporan intelijen, disebut sebagai para individu radikal yang berada di bawah pengawasan fiche S. Dokumen itu juga menyebutkan, sangat sulit untuk memonitor setiap pekerja bandara di setiap waktu.
Otoritas Prancis telah mengambil beberapa langkah-langkah untuk meningkatkan screening karyawan dan penumpang sejak dokumen itu dilaporkan. Namun tidak ditemukan bukti adanya bom atau senjata yang pernah diselundupkan ke pesawat di Bandara Charles de Gaulle.
Meski demikian, sejumlah bom tercatat pernah memasuki jalur masuk ke dalam pesawat dari tempat lain. Kelompok Al Qaeda in the Arabian Peninsula (AQAP) misalnya, berhasil memasukkan bom printer ke dalam sejumlah pesawat di Bandara Sanaa, Yaman, pada Oktober 2010.
Master pembuat bom yang bernama Ibrahim al Asiri, mendesain perangkat yang dimasuki 400 gram PETN berdaya ledak tinggi di dalam cartridge printer dan disetel meledak di tengah penerbangan pada pesawat jurusan AS. Rencana teror itu digagalkan oleh operasi intelijen, bukan karena hasil dari screening keamanan petugas bandara. Pesawat pun mendarat selamat di Inggris dan Dubai lalu berlanjut ke Chicago, AS.
Teror AQAP juga pernah terjadi pada Natal 2009 saat Umar Farouk Abdulmutallab hampir meledakkan diri di toilet pesawat dalam penerbangan dari Amsterdam ke Detroit. Untungnya, bom gagal meledak. Namun sejumlah ahli menilai bom itu dirakit dengan sangat rapi dan jika tak mengalami kegagalan akan mendatangkan bencana pada pesawat.
Jika bukti-bukti mengarah pada sabotase pesawat dalam kasus EgyptAir 804, muncul pertanyaan di sini, kapan dan bagaimana bom diletakkan ke dalam pesawat?
Pesawat itu, selama 24 jam sebelumnya telah dipakai terbang dari Kairo ke Asmara, Eritrea, Tunis, dan kembali lagi ke Kairo dan terbang ke Paris pada sore hari.
Para ahli mengatakan, bahwa semakin lama bom berada di dalam pesawat, semakin besar kemungkinan akan ditemukan, dan semakin sulit bagi teroris untuk memprediksi apakah pesawat akan berada di tanah atau di udara ketika hendak meledakkan perangkat. Tetapi bom waktu yang disetting dalam waktu ledak yang sangat panjang pernah terjadi di Inggris saat Tentara Republik Irlandia menanam bom di sebuah hotel di Brighton, Inggris, pada September 1984. Bom itu meledak hampir sebulan kemudian.