Ada empat pertimbangan bagi penyidik dalam menelusuri penyebab hilangnya EgyptAir Penerbangan MS804 di atas Mediterania.
Keinginan besar untuk segera mengetahui penyebab dari setiap kecelakaan pesawat, sangat wajar terjadi. Terlebih bagi keluarga korban dan para pihak terkait dunia penerbangan.
Ahmed Adel, Wakil Direktur EgyptAir, mengatakan bahwa dalam kasus ini, kemungkinan yang paling rasional terjadi hanya dua. Satu kegagalan mekanis dan dua, adanya serangan teroris.” “Ada begitu banyak alasan bahwa apa pun bisa terjadi di udara,” katanya kepada CNN, Jumat (20/5/2016).
Cuaca buruk menjadi hal yang di luar hitungan sebagai penyebab. Sebab cuaca saat kejadian sangat bagus di atas Laut Mediterania Timur. Pesawat berada di ketinggian jelajah dan percakapan terakhir kru dengan kontroler udara di Yunani sama sekali tidak memperbincangkan kondisi cuaca.
Ditambah lagi adanya laporan pilot pesawat maskapai lain yang lewat di jalur sama di waktu hampir bersamaan dengan insiden itu, menyatakan cuaca sangat bagus untuk penerbangan. Tak ada gangguan apapun termasuk kemungkinan adanya clear air turbulence di daerah itu.
Dari sejumlah fakta kejadian hilangnya MS804 dan dukungan data empiris insiden kecelakaan pesawat yang pernah terjadi, setidaknya ada empat teori atau skenario penyebab hilangnya EgyptAir dari pantauan radar, Kamis (19/5/2016) dini hari waktu setempat. Berikut keempat teori itu:
SKENARIO 1: Bom Diselundupkan
Aksi terorisme menjadi penyebab paling kuat dalam dugaan sejumlah pejabat. Menteri Penerbangan Mesir Sherif Fathy kepada sejumlah kantor berita menduga kuat insiden itu lebih dekat dengan kemungkinan aksi terorisme dibanding kegagalan teknis. “Jika Anda menganalisis situasi ini dengan tepat, kemungkinan serangan teror lebih tinggi daripada masalah teknis,” katanya di Kairo.
Teori awal ini juga menjadi perbincangan di antara pejabat AS. Namun ecurigaan awal bahwa pesawat itu jatuh karena serangan bom, didasari atas fakta-fakta dari laporan-laporan terakhir, bukan atas ditemukannya bukti konkret. Dan yang membuat teori ini tidak bisa langsung diyakini karena tidak adanya ancaman sebelum kejadian, dan juga tidak ada kelompok teroris mengklaim setelah kejadian itu, seperti jamak terjadi dalam beberapa peristiwa teror selama ini.
“Jika, dan ini sekali lagi hanya jika, EgyptAir Penerbangan 804 jatuh karena bom, hal ini akan menjadi pengingat yang cukup kuat untuk membuat langkah-langkah keamanan di bandara secepatnya agar peristiwa serupa tidak terjadi,” kata salah satu pejabat di Gedung Putih.
Dalam sebuah artikel berjudul Combating Terrorism Center’s Sentinel, Robert Liscouski dan William McGann menulis bahwa “kelompok teroris mulai dari Yaman, Suriah hingga Afrika Timur terus mengeksplorasi cara-cara inovatif untuk membuat teror bom ke penerbangan komersial dengan dengan mencoba mengalahkan sistem deteksi atau merekrut orang dalam. ”
Mereka mengatakan bahwa “sistem deteksi berlapis state-of-the-art yang sekarang di tempat di sebagian besar bandara di negara maju, membuat sangat sulit bagi para teroris menyelinapkan bom ke dalam pesawat. “[Keamanan berlapis] ini termasuk definisi tinggi atau mesin X-ray multiview dan sistem yang melibatkan screener yang memindai permukaan suatu benda atau pakaian Anda dan mengujinya di mesin deteksi jejak bahan peledak,” tulis mereka.
Namun mereka menambahkan, “Banyak bandara di negara berkembang tidak menggunakan teknologi ini atau tidak memberikan pelatihan yang ketat bagi operator.”
Liscouski dan McGann mengutip insiden pada penerbangan Daallo Airlines yang bertolak dari Mogadishu di Somalia pada 2 Februari 2016. Dua pekerja bandara bisa menyelundupkan laptop yang berisi bahan peledak melalui pos pemeriksaan X-ray. Mereka menyerahkannya kepada seorang pria yang dijadwalkan terbang pada penerbangan Turkish Airlines. Ketika rencana itu batal, ia meninggalkan peledak itu pada penerbangan lain ke Djibouti.
Dua puluh menit setelah take off, laptop itu meledak, mengakibatkan badan pesawat berlubang besar. Penumpang pria yang membawa laptop itu pun terhisap keluar dari pesawat. Fakta bahwa pesawat saat itu belum mencapai ketinggian jelajah, menjadi faktor kuat sebanyak 70 penumpang di dalam pesawat dapat selamat. Sebab pilot memiliki waktu cukup untuk melakukan pendaratan darurat sebelum penumpang terdampak perbedaan kompresi mendadak di dalam kabin. Demikian tulis Liscouski dan McGann. Serangan itu langsung diklaim oleh al-Shabaab, kelompok teroris Somalia yang terafiliasi dengan al Qaeda.
Liscouski dan McGann telah berpengalaman puluhan tahun dalam studi mereka terhadap teror di dunia penerabangan. Liscouski adalah asisten sekretaris untuk perlindungan infrastruktur di Departemen Keamanan Dalam Negeri AS . McGann membantu mengembangkan teknologi spektrometri untuk mendeteksi jejak bahan peledak. Keduanya bekerja untuk Combating Terrorism Center yang terasosiasi dengan West Point.