Pesawat Airbus A330-200 Etihad Airways nomor penerbangan EY474 rute Abu Dhabi-Jakarta, mengalami turbulensi di langit Indonesia, Rabu (4/5/2016).
Insiden itu terjadi 45 menit sebelum pesawat mendarat di Bandara Soekarno-Hatta atau di sekitar langit Bangka-Belitung, saat pesawat berada di ketinggian 39.000 kaki dan kecepatan sekitar 450 knots.
Dilaporkan ada 31 penumpang dan awak pesawat terluka, bahkan sembilan di antaranya cukup parah, mulai retak dan patah tulang, hingga tidak sadarkan diri.
Sebelumnya, hal serupa juga dialami oleh B777 Thai Airways nomor penerbangan TG434 rute Jakarta – Bangkok pada pertengahan April lalu. Seorang penumpang dan awak kabin dilaporkan cidera akibat terbentur langit-langit kabin.
Baca: Turbulensi, Penumpang Thai Airways Terlempar ke Atap
Dari beberapa pengakuan penumpang Etihad EY474, cuaca saat kejadian cukup cerah, tetapi tiba-tiba pesawat terguncang parah.
Keterangan penumpang Etihad itu bisa menjadi petunjuk bahwa penyebab insiden itu adalah apa yang dalam dunia penerbangan disebut dengan  Clear Air Turbulence (CAT). CAT merupakan jenis turbulensi yang susah dideteksi dan terjadi secara tiba-tiba.
Pilot di dalam kokpit, memang bisa memprediksi apakah akan ada guncangan di depan dengan bantuan radar cuaca. Mereka bisa melihat gumpalan-gumpalan awan yang berpotensi menyebabkan turbulensi.
Biasanya, jika diizinkan petugas Air Traffic Controller (ATC), pilot akan menghindari dengan meminta rute yang sedikit menyimpang atau melompatinya.
Jika tidak bisa dihindari, maka terpaksa mereka akan menembus awan tersebut, dan mengingatkan awak kabin dan penumpang agar duduk dan memakai sabuk pengaman.
Itulah sebabnya penumpang sering tiba-tiba diminta duduk dan mengenakan sabuk pengaman meski penerbangan terasa biasa-biasa saja.
Namun, CAT merupakan jenis turbulensi yang sama sekali tidak terdeteksi radar cuaca. Apalagi turbulensi jenis ini terjadi di tengah kondisi cerah. Secara visual, pilot tidak bisa mengidentifikasinya.
Seperti diulas dalam kolom Kompastekno oleh Reska K. Nistanto, seorang wartawan teknologi dan pengamat dunia penerbangan, CAT sering terjadi di area Tropopause, ruang udara antara Troposfer dan Stratosfer, yaitu ketinggian antara 23.000 – 39.000 kaki (7.000 – 12.000 meter) di atas permukaan laut.
Lapisan Tropopause ini tidak konstan atau rata secara horizontal. Perubahan temperatur dan kecepatan angin yang bergerak di antaranya membuat ketinggian lapisan sangat fluktuatif.
“Sementara di sisi lain, pesawat udara terbang di ketinggian yang konstan dalam waktu lama. Pesawat membutuhkan kepadatan udara yang konstan agar bisa terbang dengan stabil,” demikian tulisnya. “Nah, saat memasuki area Tropopause yang ketinggian lapisannya fluktuatif itulah, CAT bisa terjadi.”
Saat terkena CAT, pesawat laksana tersedot dari ruang udara berkepadatan tinggi ke rendah. Akibatnya ketinggian jelajah bisa anjlok.
Penumpang di dalam pesawat yang tidak menggunakan sabuk pengaman, bisa terlempar ke udara dan berisiko cedera akibat membentur langit-langit kabin atau terbanting ke lantai kabin. Mereka juga bisa cedera karena tertimpa benda-benda yang melayang dan menjatuhi mereka.
Dalam satu kasus, jika turbulensi terjadi di ketinggian pesawat yang rendah relatif terhadap permukaan bumi (saat takeoff/landing) bisa berakibat fatal.
Turbulensi yang terjadi dalam ketinggian dan kecepatan rendah ini disebut dengan windshear/microbursts. Sama dengan CAT, jenis turbulensi seperti ini susah untuk dideteksi.
Karena terjadi di ketinggian yang rendah, pilot hanya memiliki waktu singkat untuk manuver recovery. Jika manuver tidak berhasil, atau lambat dilakukan, pesawat bisa terbanting ke permukaan.
Salah satu contoh kecelakaan yang disebabkan windshear adalah Delta Air Lines Penerbangan 191 pada 2 Agustus 1985 di Florida, AS.
Sulit untuk mendeteksi CAT bagi pilot yang menerbangkan pesawat, karena instrumen di kokpit, seperti radar cuaca saja tidak cukup.
Radar cuaca yang menggunakan dopler memang bisa mendeteksi awan dan kepadatannya. Namun dalam kasus CAT, tidak ada kondensasi udara di dalamnya, dengan demikian, radar dopler tidak bisa menangkapnya.
Jika ada peranti yang mampu memprediksi CAT, maka itu adalah radar LIDAR (Light and RADAR), teknologi yang menggunakan cahaya alih-alih gelombang radio untuk mengukur posisi dan kecepatan angin. Namun alat ini jarang dipasang di pesawat-pesawat komersial.
Salah satu patokan yang dipakai pilot untuk mewaspadai CAT adalah awan cirrus tipis yang menggantung.
Dengan melihat pola awan cirrus, melihat arah ujung ke mana awan menuju, bisa dijadikan patokan pilot untuk menebak arus jet stream.
Selain teknologi radar, pabrikan pesawat kini juga mengembangkan teknologi sayap pesawat yang bergerak aktif menstabilkan pesawat (gust alleviation system), sehingga mengurangi efek guncangan saat terjadi turbulensi.
Namun tetap saja, jika sudah dihadapkan dengan CAT, satu-satunya cara untuk mengantisipasi risiko cidera jika terjadi adalah dengan mengurangi aktivitas di dalam pesawat tanpa mengenakan sabuk pengaman. Jika dalam kondisi sudah terlanjur tak terikat sabuk pengaman, ada sejumlah tips yang bisa disimak di bawah ini.