Masa peralihan musim yang terjadi di Indonesia saat ini mengakibatkan adanya perbedaan suhu yang mencolok di udara. Potensi terjadinya turbulensi diprediksi masih akan terus terjadi di wilayah udara Indonesia.
“Ini masa transisi, masa peralihan, ada perbedaan suhu yang mencolok antara siang dan malam. Maka potensi terjadinya turbulensi masih akan terus terjadi,” kata Kepala Sub Bidang Informasi Meteorologi, Hary Tirto Djatmiko, Sabtu (7/5/2016).
Lebih jauh Hary menjelaskan insiden turbulensiyang menimpa Etihad Airways di atas udara kawasan Sumatra pada 4 Mei lalu dan terakhir yang menimpa pesawat Hong Kong Air pada Sabtu (7/5/2016) dini hari, memiliki karakter penyebab yang berbeda.
Dia menganalisis, peristiwa turbulensi yang dialami pesawat Etihad di atas Bangka-Belitung lebih disebabkan karena clear air turbulance (CAT). Ini berdasarkan ketinggian pesawat Etihad yang berada di titik 13.000 meter atau sekita 39.000 kaki.
Adapun, untuk turbulensi yang menimpa Hong Kong Airlines di wilayah udara Kalimantan, diduga disebabkan karena pesawat dekat awan Cumulonimbus (cb). “Kalau untuk yang di Sumatra ada perbedaan suhu udara di lapisan tertentu, inversi atau perbedaan suhu di bawah hangat sementara di atas dingin. Untuk yang di Kalimantan, karena pesawat terbang terlalu dekat awan cb,” ujarnya.
Karena adanya potensi turbulensi tersebut BMKGÂ lanjut Hary meminta para pilot yang terbang di udara Indonesia untuk terus memberikan laporan cuacanya.
Pilot dan BMKG lanjutnya bisa saling memberikan informasi mengenai kondisi cuaca mutakhir.
“Dari regulasi penerbangan, kami sudah memberikan data-data cuaca. Dari pilot, kami harapkan bisa melaporkan juga cuaca. Sewajarnya saling crosscheck mengenai kondisi riilnya seperti apa saat terbang,” ujar Hary.