Rute London ke Singapura, pesawat akan berhenti untuk mengisi bahan bakar dan istirahat hingga 22 kali dan baru tiba di tujuan selama delapan hari. Tempat transitnya di antaranya di Athena, Gaza dan Baghdad.
Jika saat ini Anda gugup untuk naik pesawat terbang, maka beruntunglah Anda tidak mengalami penerbangan di era 1930-an. Pada saat itu, pesawat terbang adalah transportasi mewah dengan layanan dan kualitas keamanan yang sangat rendah dibanding saat ini.
Pada saat itu penumpang pesawat terbang harus siap mengalami hal luar biasa yang belum pernah mereka alami. Salah satu yang terparah adalah kemungkinan tuli. Pasalnya suara mesin pesawat saat lepas landas terdengar sangat keras di kabin dan bisa merusak telinga.
Saat pesawat dalam kondisi konstan di udara pun, suara mesin tetap terdengar di kabin. Saking kerasnya para kru kabin pesawat harus menggunakan pengeras suara untuk berbicara kepada penumpang.
Masalah kebisingan suara mesin memang menjadi masalah besar pada era itu. Operator penerbangan bahkan terus mencari solusi untuk meredam kerasnya suara di dalam kabin namun tetap saja tidak berhasil. Akhirnya mau tidak mau, semua awak kabin dilengkapi dengan megaphone kecil untuk saling berkomunikasi.
Meskipun dengan kenyamanan apa adanya (dibanding saat ini) lonjakan jumlah penumpang pesawat komersial cukup signifikan. National Air and Space Museum dalam situsnya yang dikutip Dailymail mencatat jumlah penumpang pesawat komersial pada 1930 mencapai 6.000 orang.
Dan jumlah itu meningkat tajam pada 1938 yang mencapai 1,2 juta orang. Meski jumlah penumpang pesawat naik tajam namun banyak orang lebih memilih naik kereta api dan kendaraan pribadi untuk bepergian. Intinya pesawat terbang hanya dipilih untuk tujuan yang sangat penting dan terpaksa sebab harga tiketnya yang sangat mahal. Jika disetarakan dengan era sekarang, harga tiket sekali terbang setara dengan setengah harga mobil baru.
Pada 1930, pesawat penumpang hanya mampu terbang dengan ketinggian 13.000 kaki dan kecepatan 200 mph. Ancaman kecelakaan pun sangat besar. Pesawat bisa jatuh kapan saja jika terkena turbulensi hebat. Waktu tempuh rute internasional tidak secepat sekarang.
Rute terpanjang yang tersedia saat itu adalah dar London ke Brisbane, Australia. Harga tiket sesuai dengan inflasi saat itu mencapai US$20.000 untuk pulang pergi.
Yang mengejutkan adalah waktu tempuh yang mencapai 11 hari. Lamanya waktu tempuh tak lepas dari intensitas transit pesawat yang sangat sering. Sekali terbang saja di rute ini, pesawat akan berhenti dan beristirahat 24 kali.
Untuk rute London ke Singapura, pesawat akan berhenti untuk mengisi bahan bakar dan istirahat hingga 22 kali dan baru tiba di tujuan selama delapan hari. Tempat transitnya di antaranya di Athena, Gaza dan Baghdad.
Masih takut terbang? Coba bandingkan dengan penerbangan saat ini….