Andil pesawat terbang dalam perubahan iklim tak bisa diremehkan. Menurut laporan The New York Times, dunia penerbangan menyumbang sekitar 2% emisi global, dan sangat berperan besar dalam pemanasan global.
Komisi Eropa bahkan menyatakan meskipun penggunaan bahan bakar pesawat lebih efisian, emisi penerbangan internasional akan meningkat sampai 70% antara 2005 sampai 2020. Penyebabnya, industri penerbangan sipil tumbuh pesat.
Meski demikian, nyatanya pesawat terbang belum dianggap sebagai ancaman serius oleh komunitas global, setidaknya oleh anggota PBB. Hal itu terlihat dari tidak dibahasnya pengendalian emisi pesawat dalam Konferensi Tingkat Tinggi PBB tentang Perubahan Iklim di Paris, awal Desember 2015. Alasannya simpel. Dunia penerbangan sipil dikelola oleh Badan PBB, International Civil Aviation Organization (ICAO).
“Jika tidak ada upaya untuk membahas emisi di dunia penerbangan, kita sesungguhnya berada dalam masalah besar,” kata Miguel Arias Canete, Kepala Badan Energi dan Perubahan Iklim Uni Eropa.
Untungnya, ICAO merespons persoalan tersebut dengan cepat. Organisasi penerbangan sipil global berencana mengurangi emisi dengan cara menerapkan standar bahan bakar pesawat terbang yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, pelaku industri penerbangan mulai mengubah paradigma demi mengurangi pemanasan global. Airbus misalnya. Perusahaan yang berbasis di Prancis tersebut bereksperimen dengan mengganti mesin gas kecil penghasil tenaga listrik di pesawat dengan sel bahan bakar hidrogen bebas emisi. Boeing mendemonstrasikan Phantom Eye, pesawat tak berawak berbahan bakar hidrogen (sayangnya bukan untuk penerbangan komersial). Tak hanya itu, ada pula Solar Impulse 2, yang dibuat dua ilmuwan asal Swiss, Andre Borschberg dan Bertrand Piccard. Solar Impulse 2 merupakan pesawat yang bisa terbang siang dan malam menggunakan tenaga matahari. Pesawat tersebut sudah menempuh 20.116 kilometer sejak Maret 2015.
